-->

Banjir Jakarta Dari Tahun 1918 Sampai Tahun 2013

Jakarta sebagai ibukota metropolitan selalu menanggung efek dari pemanasan global, terlebih lagi jika musim penghujan tiba. Disaat musim penghujan Jakarta selalu mendapat bencana banjir yang disebabkan curah hujan yang tinggi. Ternyata banjir Jakarta yang menimbulkan banyak kerugian baik materil maupun moril ini sudah menjadi cerita rutin yang lekat dari masa ke masa, bermula sejak jaman dahulu hingga sekarang. Masalah banjir di jakarta ini seakan tak pernah ada hentinya. Beberapa kali banjir besar menghantam hiruk pikuknya kota besar ini.

Restu Gunawan “mengabadikan” bencana banjir jakarta yang pernah terjadi pada tahun 1918 dalam tulisan di bukunya yang berjudul “Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa” kala itu banjir menggenangi Jakarta yang mengalami hujan 22 hari terus-menerus tiada henti.

Berikut catatan beberapa kali bencana banjir besar yang pernah terjadi di Ibu Kota Jakarta :

Tahun 1918
Hujan selama 22 hari dari Bulan Januari hingga Bulan Februari 1918 mengguyur kota jakarta. Tanggal 4 Februari, Weltreveden (kini sekitar Lapangan Benteng) terendam air. Beberapa pemukiman, seperti di wilayah Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang, Glodok juga terendam air bah bahkan di beberapa tempat ketinggian air mencapai 1,5 meter.

Ribuan warga terpaksa harus mengungsi karena Bendungan Sungai Grogol jebol yang mengakibatkan Batavia bagian barat tergenang air bah. Akhirnya rumah-rumah di Pasar Baru, Gereja Katedral, dan Molenvliet (kini Lapangan Monas) alih fungsi menjadi tempat pengungsian.

Akibat hujan yang berlangsung secara terus menerus sepanjang bulan Januari hingga Februari tahun 1918 sebagian wilayah Batavia (Jakarta) yang berada di dataran rendah mulai digenangi air. 4 Februari 1918, kampung-kampung di wilayah Weltevreden mulai tergenang hingga mengakibatkan arus pengungsian penduduk ke wilayah yang lebih tinggi.
14 Februari 1918, bencana banjir yang terjadi sejak pukul 21.30 malam terus meluas. Banjir mengakibatkan kerusakan fasilitas umum dan beberapa ruas jalan di daerah permukiman. Gang Pacebokan (sekitar Kampung Krukut, Jakarta Barat) sudah berubah menjadi rawa lumpur. Sedangkan di daerah Cikini, banjir telah mencapai Rumah Sakit Cikini (terletak di Jl. Raden Saleh).

16 Februari 1918, banjir kembali datang. Harian Sin Po menulis, jam 11.00 siang, dikabarkan air sudah naik lebih tinggi dari kemarin. Dari Jembatan Santi** menuju ke Jakarta di depan Gereja Besar**, orang mesti melalui air yang naik kira-kira seukuran dengkul. Sedangkan di depan Pabrik Minyak Jakarta**, rel trem listrik terangkat dari tanah akibat balok kayu bantalannya mengambang. Jembatan listrik* di Gunung Sahari dari jauh juga mulai kelihatan bengkok.

Wilayah Gunung Sahari hampir seluruhnya terendam, kecuali sedikit di depan Gang Kemayoran. Untuk menuju Senen, orang harus berenang hingga wilayah Kalilio (jalan ini masih ada hingga sekarang dan terletak di samping terminal Senen). Sampai di Kalilio air terlihat setinggi 50 cm. Gedung kantor Marine** menjadi tempat pengungsian warga pribumi dari Gang Chambon. Gambir Wetan terendam sedikit, Kampung Pejambon sudah kerendam sejak beberapa hari. Begitu pula wilayah Gambir Lor**, Gang Secretarie dan Gang Pool** ikut terendam.

Sementara, di wilayah Batavia bagian barat, banjir terjadi akibat jebolnya bendungan Kali Grogol. Beberapa kampung seperti Kampung Tambora, Suteng, kampung Klenteng Kapuran**, sudah terendam air. Satu-satunya sarana transportasi yang dapat digunakan adalah sampan dan perahu kecil.

Kondisi serupa terjadi di wilayah Kampung Pesayuran** dan Kebon Jeruk. Perahu bahkan bisa berjalan di gang-gang yang biasanya digunakan sebagai jalan kereta kuda (Banjir Di Batavia-Restu Gunawan).
Akhir Februari 1918, banjir mulai surut. Keadaan Batavia berangsur-angsur normal kembali. Belajar dari pengalaman pemerintahan kolonial mulai melakukan berbagai pembenahan sistem pengendali banjir. Selain membangun beberapa infrastruktur baru, proyek pembangunan Kali Grogol, dan Pintu Air Manggarai yang dilengkapi dengan Saluran Banjir Kanal diteruskan kembali.

Tahun 1976
Di tahun ini, banjir yang menggenangi Jakarta pada 19-20 januari membuat 714.861 orang terpaksa harus mengungsi. Bahkan 20 orang dinyatakan hilang karena musibah ini.
Jakarta selatan yang biasanya aman tidak tersentuh banjir kala itu harus ikut merasakan derita akibat air bah. Wilayah Pondok Pinang direndam air dengan ketinggian mencapai 2,5 meter, dari sini 3 orang dinyatakan hilang akibat banjir.

Tahun 1996
Dalam “Evaluasi dan Analisis Curah Hujan sebagai Faktor Penyebab Bencana Banjir Jakarta”, Sutopo Purwo Nugroho, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menuliskan pada tahun 1996 Kali Ciliwung debit airnya mencapai puncak yaitu 743 meter kubik perdetik.
Pada tanggal 9-11 Februari 1996, banjir lebih besar terjadi di Jakarta, hal ini dikarenakan buruknya seluruh sistem drainase yang ada. Bahkan ketinggian banjir yang merendam Jakarta kala itu mencapai 7 meter, dan menyebabkan jatuhnya korban hingga 20 orang.

Tahun 2002
Banjir kembali menyerang Jakarta sejak 27 Januari hingga 1 Februari 2002 ini telah menyebabkan 42 kecamatan serta 168 kelurahan harus terendam air. Kejadian ini membuat 24.25% dari luas kota Jakarta digenangi air bah.
Sutopo Purwo Nugroho, dalam “Evaluasi dan Analisis Curah Hujan sebagai Faktor Penyebab Bencana Banjir Jakarta” mengungkapkan ketinggian air yang menggenangi Ibu Kota kita ini mencapai ketinggian 5 meter. Akibat kejadian ini, 21 nyawa tercatat menjadi korban.

Tahun 2007
Bermula dari hujan yang tak kunjung henti dari tanggal 1 Februari hingga 2 Februari 2007, ditambah dengan sistem drainase yang buruk menjadi dua hal yang mampu menjadikan Jakarta direndam banjir hebat. Wilayah Jakarta yang diterjang banjir mencapai 60% dari luas kota metropolitan tersebut.
Banjir yang terjadi selama 10 hari tersebut telah menyebabkan jatuhnya 80 korban jiwa.

Tahun 2013
Sejak Hari Selasa tanggal 15 Januari hingga 21 Januari 2013, banjir besar kembali mengepung Kota Jakarta. Akibat kejadian ini 20 orang menjadi korban musibah air bah ini.
Dari catatan Sutopo Purwo Nugroho yang merupakan Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, sebagian besar korban jiwa justru meninggal di lokasi yang jauh dari sungai-sungai yang airnya meluap. Beberapa dari korban meninggal karena tersetrum listrik yang berada di dalam rumah atau tempat-tempat yang terendam air.


0 Response to "Banjir Jakarta Dari Tahun 1918 Sampai Tahun 2013"

Post a Comment